Sejarah Prakolonial
Indonesia
Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai daratan dan
perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Nusantara yang sekarang kita kenal
sebagai Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh
berbagai kerajaan dan kekaisaran, kadang hidup berdampingan dengan damai
sementara di lain waktu berada pada kondisi berperang satu sama lain. Nusantara
yang luas tersebut kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik yang
dimiliki Indonesia saat ini. Meskipun demikian, jaringan perdagangan terpadu
telah berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan sejarah Asia.
Terhubung ke jaringan perdagangan merupakan aset penting bagi sebuah kerajaan
untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan untuk menjadi
kekuatan besar. Tapi semakin menjadi global jaringan perdagangan ini di
nusantara, semakin banyak pengaruh asing berhasil masuk; suatu perkembangan
yang akhirnya akan mengarah pada kondisi penjajahan.
Keberadaan sumber-sumber
tertulis adalah yang memisahkan masa sejarah dari masa prasejarah. Karena
sedikitnya sumber-sumber tertulis yang berasal dari masa sebelum tahun 500
Masehi, sejarah Indonesia dimulai agak terlambat. Diduga sebagian besar tulisan
dibuat pada bahan yang mudah rusak dan - ditambah dengan iklim tropis lembab
dan standar teknik konservasi yang berkualitas rendah pada saat itu - ini
berarti bahwa sejarawan harus bergantung pada inskripsi/prasasti di atas batu
dan studi sisa-sisa candi kuno untuk menelusuri sejarah paling terdahulu
nusantara. Kedua pendekatan ini memberikan informasi mengenai struktur politik
tua karena baik sastra maupun pembangunan candi adalah contoh budaya tinggi
yang diperuntukkan bagi elit penguasa.
Sejarah Indonesia
memiliki ciri sangat khas, yaitu umumnya berpusat di bagian barat Nusantara
(khususnya di pulau Sumatera dan Jawa). Karena sebagian besar bagian timur
Nusantara memiliki sedikit kegiatan ekonomi sepanjang sejarah (terletak jauh
dari jalur perdagangan utama), hal itu menyebabkan sedikitnya kegiatan politik;
suatu situasi yang berlanjut hingga hari ini.
Pengaruh Agama Hindu dan Budha di Indonesia
Prasasti tertua yang ditemukan di Nusantara dikenal sebagai
Prasasti Kutai dan berasal dari Kalimantan Timur, yang sudah ada sejak sekitar
375 Masehi ketika kerajaan Kutai Martadipura berkuasa. Prasasti ini ditulis
dalam bahasa Sansekerta (bahasa liturgis agama Hindu) menggunakan tulisan Palawa, tulisan yang dikembangkan di India
Selatan sekitar abad ketiga Masehi. Dalam prasasti ini tiga raja Kutai
Martadipura disebutkan dan mereka menggambarkan sebuah ritual yang merupakan
karakteristik Hindu kuno. Sekitar satu abad kemudian, batu prasasti pertama
(yang diketahui) di Jawa ditemukan. Prasasti ini, yang juga dalam bahasa
Sansekerta, menyatakan raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara (abad
keempat sampai ketujuh) di Jawa Barat dan menghubungkan sang raja ini dengan
dewa Hindu (Wisnu). Secara keseluruhan, prasasti ini menunjukkan bukti pengaruh
besar dari agama Hindu India di kalangan elit penguasa kerajaan pribumi kuno
pertama yang diketahui di Nusantara.
Meskipun demikian, hubungan perdagangan antara India dan Nusantara
masa kini diketahui telah terbentuk berabad-abad sebelum prasasti Kutai. Selat
Malaka, jalur laut yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik,
telah menjadi jalur pelayaran utama untuk perdagangan yang pengantarannya
melalui laut antara China, India dan Timur Tengah sejak ingatan manusia (since human memory). Sebagian besar garis pantai
Sumatera terletak di sebelah jalur laut ini, yang menyebabkan pedagang antara
India dan China berhenti di sini atau di sisi lain dari Selat (sekarang
Malaysia) untuk menunggu angin musim yang tepat yang akan membawa mereka lebih
jauh. Tapi diasumsikan bahwa agama Hindu dan Buddha tidak disebarkan ke
Nusantara oleh para pedagang India. Kemungkinan besar, raja dan kaisar di
Nusantara tertarik dengan kehormatan Brahmana (kelas imam agama Hindu yang
merupakan peringkat tertinggi dari empat kasta sosial). Brahmana ini,
berdasarkan dugaan, memperkenalkan agama baru ke Nusantara yang memungkinkan
raja-raja pribumi untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan dewa Hindu atau
Bodhisattva (makhluk mistis yang tercerahkan dalam agama Budha), sehingga
menggantikan pemujaan leluhur yang dianut sebelumnya. Oleh karena itu, Doktrin
agama baru ini, menunjukkan kehormatan yang lebih besar bagi raja-raja.
Kerajaan di Nusantara yang meniru konsep India ditemukan di pulau Kalimantan,
Jawa, Sumatera dan Bali.
Karena posisi
strategis dari garis pantai Sumatera dan Malaysia yang dekat
dengan Selat Malaka, tidaklah mengherankan bahwa kita menemukan Negara
pertama yang berpengaruh besar dalam sejarah Indonesia di daerah pesisir
Sumatra, dan membentang di wilayah geografis yang luas di sekitar selat.
Kerajaan ini dinamakan Sriwijaya dan menguasai jalur perdagangan yang
menghubungkan Samudra Hindia, Laut Cina Selatan dan Kepulauan Rempah Maluku
antara abad ke-13 dan abad ke-17. Sriwijaya juga dikenang sebagai Pusat di Asia
Tenggara untuk studi agama Budha dengan penekanan utama pada studi bahasa
Sansekerta. Dari sumber-sumber Cina diketahui bahwa para biksu Budha Cina
tinggal di Sriwijaya selama lebih dari satu dekade untuk melanjutkan studi
mereka.
Sisa-sisa candi Hindu dan Buddha yang berasal dari antara abad
ke-8 dan ke-10 menunjukkan pemerintahan dua dinasti di Jawa Tengah. Dinasti ini
adalah Dinasti Sailendra (penganut Agama Budha Mahayana dan kemungkinan besar
dinasti yang membangun Candi Borobudur yang terkenal sekarang berada di dekat
Yogyakarta sekitar tahun 800 Masehi) dan Dinasti Sanjaya (penganut agama Hindu
yang membangun kompleks candi Prambanan sekitar tahun 850 Masehi tidak jauh
dari candi Borobudur dan sebagai reaksi terhadap candi Borobudur tersebut).
Keruntuhan perlahan-lahan Sriwijaya dan munculnya kerajaan besar baru di Jawa
ini berarti bahwa kekuasaan politik secara bertahap berpaling dari Sumatera
menuju Jawa. Namun pada abad ke-10 kehidupan penduduk di Jawa Tengah tiba-tiba
tidak terekam karena kurangnya sumber. Diduga letusan gunung berapi besar
menggeser kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tempat berkembangnya
sejumlah kerajaan baru. Dua di antaranya yang patut mendapat perhatian khusus
karena warisan mereka, yakni Kediri (sekitar 1042-1222) untuk warisan prasasti
dan warisan sastranya, dan penggantinya Singasari (antara 1222 dan 1292) untuk
memperkenalkan babak baru dalam sejarah Indonesia, yaitu sinkretisme (penyatuan
aliran) agama Hindu dan Budha. Babak baru ini mencapai kejayaannya di kerajaan
Majapahit di Jawa Timur (1293 sampai sekitar 1500), yang mungkin merupakan
kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara yang memiliki wilayah geografis yang
menyerupai perbatasan Indonesia saat ini (walaupun masih diperdebatkan di kalangan
sarjana mengenai seberapa besar kekuasaan kerajaan ini benar-benar
dinikmati di luar Jawa dan Bali). Majapahit dengan perkembangan seni dan
sastranya yang luar biasa masih merupakan konsep penting dan menjadi penyebab
kebanggaan nasional bagi masyarakat Indonesia saat ini karena dianggap sebagai
dasar negara modern Indonesia. Pergerakan kaum nasionalis di abad
ke-20 menggunakan konsep ini untuk menjustifikasi kemerdekaan dan keabsahan
batas-batas wilayah. Motto Nasional Indonesia Bhinneka Tunggal Ika,
yang berarti ‘Persatuan dalam Keberagaman', berasal dari sebuah puisi Jawa Kuno
yang ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.
Kedatangan Islam di Indonesia
Meskipun merupakan kerajaan Hindu-Buddha, Islam berpengaruh bagi
kalangan elit penguasa Majapahit. Kemungkinan Islam sudah ada di Asia Tenggara
maritim dari awal era Islam ketika pedagang Muslim datang ke Nusantara, membuat
permukiman di daerah pesisir, menikah dengan wanita setempat dan dihormati atas
kekayaan mereka yang diperoleh melalui perdagangan. Beberapa penguasa lokal
kemungkinan tertarik dengan agama baru ini dan dianggapnya menguntungkan untuk
menganut keyakinan yang sama seperti sebagian besar pedagang. Pendirian
kerajaan Islam merupakan langkah logis berikutnya. Diduga rakyat dari
raja-raja ini mengikutinya dengan masuk Islam.
Prasasti pada batu nisan menunjukkan bahwa pada awal abad ke-13
terdapat sebuah kerajaan Islam di bagian utara Sumatera disebut Pasai atau
Samudera. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Dari Sumatra Utara, pengaruh Islam kemudian menyebar ke arah timur melalui
perdagangan. Di pesisir pantai utara Jawa berbagai kota Islam muncul selama
abad ke-14. Meskipun demikian, tidaklah mungkin kalau beberapa bangsawan Jawa
dari Majapahit di Jawa Timur memeluk agama Islam karena perdagangan. Mereka
mungkin merasa derajatnya jauh lebih tinggi dibanding dengan kelas sosial
pedagang. Kemungkinan besar bangsawan Jawa ini dipengaruhi oleh ulama Sufi dan
orang-orang suci atau wali yang
mengaku memiliki kekuatan supranatural (karomah).
Pada akhir abad ke-14
dan awal abad ke-15 pengaruh Majapahit di Nusantara mulai menurun karena
konflik suksesi dan meningkatnya kekuasaan kerajaan Islam. Sebuah negara
perdagangan baru, Malaka, merupakan salah satu kekuatan baru ini. Kekuatan ini
bangkit di daerah pesisir - saat ini Malaysia - dan terletak di bagian
tersempit dari Selat Malaka. Negara ini menjadi pelabuhan sangat sukses dengan fasilitas
menguntungkan dalam jaringan perdagangan luas yang membentang dari Cina dan
Maluku di ujung timur ke Afrika dan Mediterania di ujung barat. Meskipun pada
awalnya Malaka adalah negara Hindu-Buddha, namun berubah dengan cepat menjadi
kesultanan Muslim (mungkin karena alasan terkait perdagangan).
Hubungan historis antara
perdagangan dan Islam juga terlihat dalam perkembangan di pulau Ternate - saat
ini propinsi Maluku di kawasan timur Indonesia. Ternate (mirip dengan Tidore
yang dekat dengannya) menjadi daerah kaya karena produksi cengkeh. Dari Jawa -
dan melalui perdagangan - Islam menyebar ke daerah ini, mengakibatkan
berdirinya kesultanan di akhir abad ke-15. Kesultanan ini berhasil menguasai
sebagian besar Indonesia Timur namun posisinya dirusak oleh Belanda pada abad
ke-17.
Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia
Cerita tentang kekayaan
Malaka telah mencapai Eropa dan menggoda bangsa Portugis, yang memiliki
teknologi navigasi maju, untuk berlayar ke bagian dunia ini agar bisa memiliki
pengaruh lebih besar pada jaringan perdagangan rempah-rempah dunia (dan akan
membuat penghasilan mereka lebih tinggi). Pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan
oleh armada Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Meskipun
demikian, penaklukan ini memiliki konsekuensi yang luas bagi jalur perdagangan.
Malaka, yang dulu merupakan pelabuhan kaya, dengan cepat hancur di bawah
kekuasaan Portugis yang tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia.
Setelah penaklukan, para pedagang segera mulai menghindari Malaka dan pergi
membawa bisnis mereka ke beberapa pelabuhan lain. Johor (Malaysia), Aceh
(Sumatra) dan Banten (Jawa) adalah negara yang mulai mendominasi perdagangan
rempah-rempah karena pergeseran jalur-jalur perdagangan.
Belanda juga tertarik untuk membangun cengkeraman yang kuat pada
jaringan perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. Ekspedisi pertama mereka
mencapai Banten pada tahun 1596 tapi disertai dengan permusuhan antara Belanda
dan penduduk pribumi. Setelah tiba kembali di Belanda, ekspedisi ini masih
menunjukkan keuntungan besar yang memperlihatkan bahwa ekspedisi ke kawasan
Asia Tenggara sebenarnya menghasilkan banyak uang. Namun saking banyaknya
ekspedisi yang diadakan oleh beberapa perusahaan Belanda (ke Nusantara),
menimbulkan dampak negatif pada keuntungan mereka. Persaingan memperebutkan
rempah-rempah mendongkrak kenaikan harganya di Nusantara sementara peningkatan
pasokan rempah-rempah menyebabkan penurunan harga di Eropa. Hal ini membuat
pemerintah Belanda memutuskan untuk menggabungkan perusahaan pesaingnya menjadi
satu badan usaha yang disebut Serikat Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie-, disingkat VOC).
Mereka menerima kekuasaan berdaulat yang besar untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah Asia serta menyingkirkan pesaing Eropa lainnya. VOC memutuskan
untuk memiliki kantor pusatnya tidak di Maluku (jantung pulau penghasil
rempah-rempah) tetapi lebih strategis dekat Selat Malaka dan Selat Sunda.
Pilihannya jatuh pada Jakarta saat ini. Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen mendirikan Batavia di atas puing-puing kota Jayakarta yang
dihancurkan karena sikapnya yang memusuhi Belanda. Batavia menawarkan
prospek dagang yang bagus, sehingga menyebabkan timbulnya imigrasi banyak orang
(terutama orang Cina) ke kota berkembang pesat ini.
Menuju Pemerintahan Kolonial di Indonesia
Sementara itu,
negara-negara Islam terus berkembang di Nusantara. Di Aceh (Sumatra) Sultan
Iskandar Muda mendirikan kekuasaan besar di awal abad ke-17, mengendalikan
cadangan lada dan timah. Namun, ia tidak pernah berhasil membangun hegemoni di
sekitar Selat Malaka seperti Johor dan Portugis yang merupakan pesaing kuat.
Setelah pemerintahan Iskandar Muda, Aceh mengalami periode panjang perpecahan
internal yang menghentikannya menjadi kekuatan penting di luar ujung utara
Sumatera. Di Jawa Tengah dua kekuasaan Islam baru yang kuat muncul di paruh
kedua abad ke-16. Kekuasaan ini adalah distrik Pajang dan Mataram yang, setelah
melalui perjuangan panjang, berhasil menghentikan dominasi politik daerah pesisir
di utara Jawa. Mataram menjadi dinasti yang paling kuat dan paling lama dari
dinasti Jawa modern, dengan masa pemerintahan Sultan Agung sebagai kejayaan
politik. Sultan Agung berkuasa pada tahun 1613-1646 dan berhasil menaklukkan
hampir seluruh daratan Jawa, kecuali kerajaan Banten di Jawa Barat dan kota
Batavia. Penguasaan Belanda terhadap Batavia adalah ibarat onak/duri di mata
Sultan Agung yang ingin menguasai seluruh daratan pulau. Dalam dua kesempatan
ia mengirim pasukannya untuk menaklukkan kota Belanda ini tapi gagal
kedua-duanya.
VOC dengan cepat menyebarkan kekuasaannya di Nusantara dan
mendapatkan kendali atas produksi cengkeh dan pala di Kepulauan Banda (Maluku)
dengan menggunakan langkah-langkah ekstrim seperti genosida (pembantaian
massal). VOC terus memperluas jaringan pos perdagangannya di seluruh Nusantara.
Kota dan pelabuhan yang memainkan peran sentral dalam jaringan perdagangan
Belanda ini adalah Surabaya (Jawa Timur), Malaka (Malaysia Barat) dan Banten
(Jawa Barat). Meskipun undang-undang VOC pada awalnya tidak memperbolehkan
mengganggu politik internal negara pribumi, namun VOC mengakar cukup kuat dalam
politik Mataram di Jawa Tengah. Setelah
kematian Sultan Agung, Mataram dengan cepat merosot dan sengketa suksesi muncul
sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Belanda memainkan taktik
memecah-belah dan menaklukkan yang pada akhirnya mengakibatkan pembagian
kerajaan Mataram menjadi empat bagian dengan penguasanya menjadi tunduk kepada
Belanda. Meskipun kedudukan Belanda masih agak lemah di luar Pulau Jawa,
perkembangan politik di Jawa ini dapat dianggap sebagai tahap awal penjajahan
Belanda di Nusantara.
Sumber: http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/sejarah-prakolonial/item123
0 comments:
Posting Komentar