PENGERTIAN
HUKUM PERDATA
HUKUM PERDATA
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN
HUKUM PERDATA
Istilah
hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan
dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah
itu, sinonim hukum perdata adalah civielrech tdan privatrecht.
Para
ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan
hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu
peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan
hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat
lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau
norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan
perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas”
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian
utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang
lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi
badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih
sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak
tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain
dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2
kaidah, yaitu:
1. Kaidah
tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2. Kaidah
tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek
kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2
macam, yaitu:
1. Manusia
Manusia sama dengan orang karena
manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2. Badan
hukum
Badan hukum adalah kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan
kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum
perdata antara lain:
1. Hubungan
keluarga
Dalam hubungan keluarga akan
menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2. Pergaulan
masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat
akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan
unsur-unsurnya yaitu:
1. Adanya
kaidah hukum
2. Mengatur
hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3. Bidang
hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga,
hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan
kadaluarsa.[1]
B. HUKUM
PERDATA MATERIIL DI INDONESIA
Hukum perdata yang berlaku di
Indonesi beranekaragam, artinya bahwa hukum perdata yang berlaku itu terdiri
dari berbagai macam ketentuan hukum,di mana setiap penduduk itu tunduk pada
hukumya sendiri, ada yang tunduk dengan hukum adat, hukum islam , dan hukum
perdata barat. Adapun penyebab adanya pluralism hukum di Indonesia ini adalah
1. Politik
Hindia Belanda
Pada pemerintahan Hindia Belanda
penduduknya di bagi menjadi 3 golongan:
a. Golongan
Eropa dan dipersamakan dengan itu
b. Golongan
timur asing. Timur asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan
Tionghoa, Seperti Arab, Pakistan. Di berlakukan hukum perdata Eropa, sedangkan
yang bukan Tionghoa di berlakukan hukum adat.
c. Bumiputra,yaitu
orang Indonesia asli. Diberlakukan hukum adat.
Konsekuensi logis dari pembagian
golongan di atas ialah timbulnya perbedaan system hukum yang diberlakukan
kepada mereka.
2. Belum
adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional.
C. SUMBER
HUKUM PERDATA TERTULIS
Pada dasarnya sumber hukum dapat
dibedakan menjadi 2 macam:
1. Sumber
hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat
dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya hubungan social,kekuatan politik,
hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan georafis.
2. Sumber
hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata
,traktat, yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi
lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis.
Yang di maksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya
kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah
hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undanang, traktat,
dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat
ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis.
Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis
yaitu:
1. AB
(algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia
Belanda
2. KUHPerdata
(BW)
3. KUH
dagang
4. UU
No 1 Tahun 1974
5. UU
No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Yang dimaksud dengan traktat adalah
suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang
keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya,
perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT
Freeport Indonesia.
Yurisprudensi atau putusan
pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum
yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata.
Contohnya H.R 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum . dengna adanya
putsan tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Tetapi
sempit. Putusan tersebut di jadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam
memutskan sengketa perbutan melawan hukum
.
HUKUM PERJANJIAN
A. DEFINISI
HUKUM
Hukum adalah salah satu bagian dari
norma. Hukum adalah norma atau peraturan yang dibuat oleh pejabat negara atau
pihak yang berwenang dan adanya sanksi bagi yang melanggarnya. Hukum bertujuan
mencapai ketertiban, dan menuju kepastian hukum.
B. DEFINISI
HUKUM PERJANJIAN
Hukum perjanjian adalah perbuatan
hukum segi dua yang mengatur hukum antarpihak dimana pihak yang satu berjanji
memberi sesuatu dan yang lain menerima, dimana pihak-pihak tersebut mengikat
diri dalam suatu perjanjian. Hukum perjanjian ini biasanya berlaku ketika
terkait dengan harta kekayaan.
C. DEFINISI
PERJANJIAN DAN PERIKATAN
Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perikatan adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu.
D. ASAS-ASAS
DALAM HUKUM PERJANJIAN
1. Asas
Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian menganut asas
kebebasan berkontrak atau sistem terbuka. Artinya, Hukum Perjanjian memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka, yang mengandung
suatu asas kebebasan, membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian.
“Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan
bentuk perjanjiannya yaitu tertulis maupun lisan.
2. Asas
Konsensualitas
Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu
asas, yang dinamakan asas konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan
latin consensus yang berarti sepakat.
Arti asas konsensualitas ialah pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan
sejak detik tercapainya kesepakatan.
Asas konsensualitas tersebut
lazimnya disimpulkan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat: 1. sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang
halal”.
Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, namun
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualitas yang
dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3. Asas
Pacta Sunt Servanda
Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu
asas, yang dinamakan asas kepastian hukum atau lebih dikenal dengan asas Pacta
Sunservanda yang merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas
ini berarti bahwa sebuah perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Asas ini
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda tersebut
lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata seperti pada asas kebebasan berkontrak.
4. Asas
Itikad Baik
Asas itikad baik tercantum dalam
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para
pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad
baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak
pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas
Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri. Sedangkan, Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana
dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri
sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam
itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang
yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu
maka Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang perjanjian
untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang
memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal
1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
E. SYARAT
SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian
menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat:
1. Adanya
kesepakatan dari para pihak;
Dengan sepakat atau juga dinamakan
perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
yang diadakan itu.
2. Ada
kemampuan untuk membuat perjanjian;
Orang yang membuat suatu perjanjian
harus cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah:
- Orang-orang
yang belum dewasa;
- Orang
yang tidak sehat pikirannya;
- Orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang
kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
3. Ada
obyek yang diperjanjikan;
Apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
4. Ada
kausa yang halal.
Yang dimaksudkan sebab atau kausa
dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai contoh
adalah apabila ada seseorang membeli pisau di toko dengan maksud untuk membunuh
orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau
kausa yang halal. Lain halnya, apabila soal membunuh itu dimasukkan dalam
perjanjian, misalnya, si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si
pembeli membunuh orang dengan pisau tersebut. Isi perjanjian ini menjadi
sesuatu yang terlarang.
Dua syarat pertama, dinamakan
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya
yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan
syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri
oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dalam hal suatu syarat obyektif,
kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya,
dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan.
Dalam hal suatu syarat subyektif,
jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi
salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak memiliki
kemampuan atau tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.
F. BATAL
DAN PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam Hukum Perjanjian ada tiga
sebab yang membuat perjanjian batal, yaitu adalah sebagai berikut:
1. Paksaan
Paksaan yang dimaksudkan dengan
paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan
paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau
ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seseorang
dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah sepucuk
surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini,
yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah
dibuat itu.
2. Kekhilafan
atau kealpaan
Apabila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang
penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai dengan
siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa,
hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak
akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai barang, terjadi misalnya
seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi
kemudian ternyata hanya turunannya saja. Kekhilafan mengenai orang, terjadi
misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang
dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal itu bukan orang yang
dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.
3. Penipuan
Apabila suatu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan
tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Misalnya
mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya dan dipalsukan nomor mesinnya dan
lain sebagainya.
G. PELAKSANAAN
SUATU PERJANJIAN
Menilik macamnya hal yang dijanjikan
untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1. Perjanjian
untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang;
Contohnya: jual-beli, tukar-menukar,
penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, dan pinjam pakai.
2. Perjanjian
untuk berbuat sesuatu;
Contohnya: perjanjian untuk membuat
suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat sebuah garansi,
dan lain sebagainya.
3. Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu;
Contohnya: perjanjian untuk tidak
mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan yang sejenis
dengan milik orang lain, dan lain sebagainya.
H. ANEKA
PERJANJIAN
1. Jual
Beli
Jual beli adalah suatu perjanjian
bertimbal-balik dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik
atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga
yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.
2. Tukar-Menukar
Tukar-menukar adalah suatu
perjanjian dimana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan
suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. Dalam
dunia perdagangan perjanjian ini juga dikenal dengan nama barter.
3. Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian
dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang
lainnya manfaat dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya.
4. Sewa-Beli
Perjanjian sewa-beli dikonstruksikan
sebagai suatu perjanjian sewa-menyewa dengan hak pilihan dari si penyewa untuk
membeli barang yang disewanya. Maksud dari kedua belah pihak adalah tertuju kepada
perolehan hak milik atas suatu barang disatu pihak dan perolehan sejumlah uang
sebagai imbalannya dilain pihak.
5. Perjanjian
Untuk Melakukan Pekerjaan
a. Perjanjian
untuk melakukan jasa-jasa tertentu
Suatu pihak menghendaki pihak lawannya
untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia
membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut
terserah kepada pihak lawan.
b. Perjanjian
kerja atau perburuhan
Suatu hubungan dimana satu pihak
berhak memberikan perintah yang wajib ditaati oleh pihak yang lain.
c. Perjanjian
pemborongan pekerjaan
Suatu perjanjian antara seorang
dengan orang lainnya, dimana pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan
yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga
pemborongan.
6. Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan adalah suatu
perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau
barang dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya
menyanggupi akan membayar ongkosnya.
7. Persekutuan
Persekutuan adalah suatu perjanjian
antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang
akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan
bersama.
8. Perkumpulan
Perkumpulan atau perhimpunan adalah
beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang non-ekonomis
bersepakat mengadakan suatu kerjasama yang bentuk dan caranya diletakkan dalam
apa yang disebut sebagai anggaran dasar.
9. Penghibahan
Penghibahan adalah suatu perjanjian
dimana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat
ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah
yang menerima penyerahan itu.
10. Penitipan
Barang
Penitipan terjadi apabila seorang
menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat ia akan menyimpannya dan
mengembalikan dalam wujud asalnya.
11. Pinjam-Pakai
Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian
dimana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk
dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang tersebut
setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan
mengembalikannya.
12. Pinjam-Meminjam
Pinjam-meminjam adalah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah
tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan
mutu yang sama pula.
13. Perjanjian
Untung-Untungan
Suatu perjanjian untung-untungan
adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung-ruginya, baik bagi semua
pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum
tentu.
14. Pemberian
Kuasa
Pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian dimana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu utusan.
15. Penanggungan
Utang
Penanggungan adalah suatu perjanjian
dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya.
PENGERTIAN HUKUM DAGANG
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur
tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh
keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan
badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistemhukum dagang menurut
arti luas dibagi 2 :
> tertulis
> tidak
tertulis
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya, ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia
terutama bersumber pada :
1. Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
1. Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Contoh Kasus Perdata di Indonesia
Di Indonesia
sendiri, ada berbagai macam persoalan perdata. Dan berikut ini adalah beberapa
contoh kasus perdata yang mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita, karena
kasus tsb sempat menjadi topik yang hangat dibicarakan, yaitu:
1. Kasus Perseteruan Julia Perez dan Dewi Persik
JAKARTA,
RIMANEWS- Perseteruan antara Julia Perez dengan Dewi Perssik semakin memanas.
Setelah melaporkan artis yang akrab disapa Jupe itu ke polisi, Dewi juga
menuntut artis itu secara perdata. Ia menggugat Jupe sebesar Rp1,7 miliar.
Menurut
pengacara Dewi, Angga Brata Rosihan, kliennya itu merasa sudah dirugikan secara
materiil dan immateriil atas pertengkarannya dengan kekasih Gaston Castano
tersebut. Dan tak hanya itu, Dewi merasa Jupe telah merusak wajahnya yang
merupakan asetnya sebagai seorang artis.
"Pastinya,
kami punya bukti kwitansi atas perawatan mukanya dia. Bahwa ini benar untuk
pengobatan, untuk mereparasi wajahnya. Itukan aset Mbak Dewi," kata Angga
Tuntutan
tersebut telah diajukan pihak pemilik goyang gergaji itu ke Pengadilan Negeri
Jakarta Timur pada Senin, 31 Januari kemarin. Tuntutan itu tercatat dengan
nomor 41/PDP/2011 di PN Timur.
Kesimpulan
: Hukum ada di segala sesuatu, karena hukum dibuat untuk mengatur dan menjaga
asas-asas keadilan dan kemanusian.Setiap hukum saling berkaitan satu sama lain,
oleh karenanya ketika suatu pelanggaran dibuat maka akan berimbas kepada hukum
lainnya.
Sumber:
0 comments:
Posting Komentar