v UU Otonomi
Daerah
UU otonomi daerah itu sendiri
merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata
negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan
pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur
mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi
pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah
menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah
undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera
setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah
mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia
mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap
struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Perubahan UU
Otonomi Daerah
Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini
mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak
kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan
terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi
sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya UU otonomi daerah telah mengalami
beberapa kali perubahan setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak
bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
v Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Peranan Pendapaatan Asli
Pengkajian
kerangka regulasi yang ada dan merekomendasikan penyempurnaan kerangka tersebut
guna mendukung prioritas pembangunan dan pembiayaan infrastruktur Penyusunan
strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur ini diharapkan dapat
menghasilkan peta pembangunan infrastruktur yang jelas di masa yang akan datang
sehingga pemerintah mempunyai dokumen yang lengkap terhadap pembangunan
infrastruktur.
Oleh karena itu,
ruang lingkup dari penyusunan strategi ini mencakup seluruh aspek potensi
ekonomi wilayah Indonesia Timur sebagai rumusan strategis pembangunan
infrastruktur nasional, baik berdasarkan subsektor jenis infrastruktur dan
maupun tipologi kewilayahan dengan basis pendekatan potensi. Penyusunan
strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur kawasan timur Indonesia
diharapkan dapat menghasilkan Master Plan di bidang infrastruktur yang akan
mendukung skenario pembangunan era baru ekonomi Indonesia di masa yang akan
datang. Master Plan ini diharapkan dapat memuat berbagai data dan informasi mengenai
pembangunan dan pembiayaan infrastruktur berdasarkan skala prioritas
pembangunan dan regulasi yang mendukung arah pembangunannya.
Cerminan
pembangunan infrastruktur nasional adalah pembangunan infrastruktur di tiap
wilayah atau propinsi di Indonesia. Perkembangan pembangunan infrastruktur di
masing-masing pulau di Indonesia memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti.
Dominasi pembangunan infrastruktur sangat ditentukan oleh kondisi geograsfis
dan demografis dari suatu wilayah.
Dominasi
infrastruktur ini dapat mencerminkan pula tingkat aktivitas ekonomi dalam suatu
wilayah. Perkembangan pembangunan infrastruktur untuk masing-masing pulau yang
ada di Indonesia. Hal ini pula yang menjadi hambatan pembangunan infrastrukrur
Kawasan Timur Indonesia.
Pada hal
sejatinya jika Indonesia ingin percepatan mencapai kemajuan maka pendekatan
potensi atau potential approach yaitu potensi yang mendorong tumbuhnya
komoditas unggulan, hendaknya menjadi komintmen kuat terhadap pembangunan
infrstruktur kawasan timur Indonesia.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa daerah Kalimantan Selatan sebagaimana daerah Kalimantan umumnya
yang merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di wilayah negara kita.
Tingkat kepadatan pendudukanya relative rendah sehingga tidak dimungkinkan untuk
melakukan pendekatan demographic dalam perencanaan pembangunan infrastukturnya.
Dengan jumlah
penduduk yang mendiami wilayah ini hanya sebesar 6% dari total penduduk
Indonesia, maka akan berdampak pada aktivitas ekonomi yang ada di wilayah ini.
Kondisi semacam ini merupakan kondisi tipikal wilayah Indonesia Timur.
Karenanya diperlukan langkah potential approach atau pendekatan potensial untuk
pembangunan infrastrukturnya
Komoditas yang
menjadi unggulan untuk wilayah ini adalah sektor pertambangan dan galian, sub
sector perkebunan dan subsektor kehutanan. Ketiga sektor ini memberikan
sumbangan besar bagi pendapatan nasional.
Dengan demikian
terdapat pandangan berbeda mengenai pola perencanaan bahwa berdasarkan jumlah
penduduk atau pendekatan demografik, aktivitas ekonomi unggulan yang tidak
memerlukan banyak infrastruktur, maka akibatnya adalah persentase pembangunan
infrastruktur di pulau ini lebih rendah dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dilihat dari
infrastruktur transportasi, pelabuhan laut lebih mendominasi dibandingkan
dengan yang lainnya. Hal ini sangat wajar dengan kondisi geografis dari
Kalimantan yang lebih banyak rawa dibandingkan dengan daratannya yang
memungkinkan sektor pelabuhan laut dan lalulitas angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan lebih berkembang dibandingkan dengan transportasi darat.
Pembangunan
jalan di pulau ini masih relative rendah bila dibandingkan dengan luas wilayah
pulau ini. Hal ini sangat signifikan sekali dengan jumlah kendaraan yang berada
di wilayah ini hanya sebesar 5,8% dari jumlah kendaraan yang ada di Indonesia.
Hal ini pula yang menyebabkan rendahnya tingkat mobilitas dan tingginya biaya
transportasi sehingga wilayah ini kehilangan daya saingnya dalam menarik
investasi.
Pandangan keliru
juga terdapat pada subsektor pertanian tanaman pangan dan pengairan. Dapat kita
temukan fakta bahwa irigasi tidak menjadi salah satu fokus pembangunan
infrastruktur karena wilayah ini bukan sebagai lumbung padi tetapi lebih
cenderung pada komoditas kehutanan dan perkebunan.
Pada pada sisi
lain kitapun memehami betul bahwa kondisi wilayah ini sangat dimungkinkan
membangun jaringan irigasi guna menjadikan Kalimantan sebagai lumbung padi.
Kita dapat belajar dan membandingkan kondisi wilayah ini dengan kondisi Vietnam
yang petaninya lebih unggul dari petani kita bahkan tanpa proteksionisme
perdagangan.
Saat ini akses
masyarakat Kalimantan terhadap air bersih, hanya sebesar 44% yang dapat
menikmati air bersih sedangkan sisanya belum mendapatkan akses terhadap air
bersih.
Ini merupakan
salah satu permasalahan yang harus menjadi perhatian, karena bila kondisi
tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada tingkat kesehatan dari masyarakat
di Kalimantan. Bagaimana kita bisa mengembangkan sumber daya manusia yang
handal dan mampu bersaing secara global bila tingkat hiegenitas masih rendah.
Oleh karena itu akses terhadap air bersih perlu langkah prioritas pembangunan
infrastrukturnya.
Demikian pula
dengan subsektor telematika dan ketenagalistrikan perlu berpacu dengan irama
pertumbuhan yang berkembang dengan pesat. Hal ini sejalan dinamika dan
aktivitas dari masyarakat di pulau Kalimantan.
Pembukan lahan
menjadi lahan pertanian yang notabene terjadi perubahan fungsi seringkali
memicu kotroversi yang kontraproduktif, hendaknya dipelajari kembali dengan
seksasama agar tidak terdapat resistensi pembangunan hanya sekadar penolakan
emosional, namun sebaliknya kehilangan informasi berharga tentang potensi
ekonomi yang mempunyai keunggulan tertentu.
Akhirnya kita
juga mengapeal akan pentingnya kesadaran tentang pembangunan infrastruktur
berkaitan dengan upaya strategis percepatan pertumbuhan ekonomi, hendaknya
secara nyata mengurangi hambatan birokratis di semua lini baik pada tingkat
pemerintah pusat maupun pada tingkat pemerintah daerah dan pemerintah
kabupaten.
v Pembangunan Ekonomi Regional
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan
meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap
ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh
Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa
ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan
menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional
dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan
dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3.
pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui
indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali
digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas
daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator
perubahan dari kesejahteraan
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional
dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan
dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3.
pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui
indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali
digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas
daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator
perubahan dari kesejahteraan .
Model Pertumbuhan Regional
Model Pertumbuhan Regional
Fungsi produksi agregat merupakan dasar dari model
pertumbuhan neoklasik. Hubungan tersebut ditujukkan dalam bentuk sebagai
berikut
Y = F(K,L)
Dimana, Y adalat output riil, K adalah capital stock,
dan L adalah tenaga kerja.
Dalam bentuk Cobb Douglas dengan asumsi constant return to scale yaitu;
Dalam bentuk Cobb Douglas dengan asumsi constant return to scale yaitu;
Y = AKαL1-α
y = Akα , dimana y = K/L dan k = K/L
Fungsi produksi perkapita menunjukan bahwa output per
pekerja hanya akan meningkat jika modal per pekerja meningkat. Dengan kata lain
modal harus terus tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja dari
output per pekerja.
Agar lebih realistis maka model neoklasik diatas harus
ditambah dengan efek apabila adanya teknologi pada pertumbuhan output.
Y = F(A,K,L), dimana A adalah technical knowledge
(teknologi).
Dalam bentuk Cobb-Douglas,
Y = AegtKαL1-α
dimana g adalah technical progress per time period t,
selanjutnya dengan aplikasi matematika kita jadikan dalam model pertumbuhan . dimana, ∆Y/Y, ∆K/K, dan ∆L/L adalah given.
Selanjutnya dengan merubah dalam bentuk model region (daerah), dengan g adalah perubahan rate of technical dan r notasi untuk regional,
Selanjutnya dengan merubah dalam bentuk model region (daerah), dengan g adalah perubahan rate of technical dan r notasi untuk regional,
kita dapat
mengidentifikasi tiga alasan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan regional
yaitu;
1. Technical progress berubah diantara region;
1. Technical progress berubah diantara region;
2. Pertumbuhan capital stock berubah diantara region;
3. Pertumbuhan tenaga kerja berubah diantara region.
Selanjutnya, ketidamerataan regional dalam pertumbuhan
output per tenaga kerja dapat dijelaskan oleh perbedaan regional dalam rate of
technical progress dan oleh perbedaan regional dalam rasio pertumbuhan
kapital/tenaga kerja.
Pertumbuhan kapital stok daerah didorong dengan adanya
investasi baik dari daerah itu sendiri atau daerah lain. Pertumbuhan tenaga
kerja juga didorong oleh adanya migrasi tenaga kerja dari daerah lain karena
adanya perbedaan upah relatif terhadap daerah lain disamping akibat tumbuhnya
angkatan kerja baru karena pertumbuhan populasi. Untuk pertumbuhan teknologi
tentunyajuga dipengaruhi oleh masuknya sumberdaya dari daerah lain dan
perkembangan pendidikan atau pengetahuan melalui R&D.
Dalam kajian Iyanatul Islam dari School of
International Business and Asian Studies, Griffith University, Australia,
menyebutkan bahwa ketidakmerataan antar daerah di Indonesia tidak menunjukkan
gambaran yang semakin mencolok dari waktu ke waktu. Dikatakan bahwa adanya
konvergensi di daerah, terutama pada pertengahan 1970-an serta dekade 1980-an
dan 1990-an, dengan adanya pertumbuhan ekonomi daerah miskin yang lebih cepat
dibandingkan daerah kaya. Namun proses konvergensi tersebut berjalan melambat
sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mengurangi kesenjangan pendapatan
antar daerah. Analisis Takahiro Akita dan Armida S Alisjahbana (The Economic
Crisis and Regional Inequality in Indonesia) menyebutkan sebelum krisis
ekonomi, disparitas pendapatan antardaerah di Indonesia sedikit naik mulai
tahun 1993 hingga 1997 .
Dari sisi technical progress secara empiris, Garcia dan
Soelistianingsih (1998) telah mengestimasi pengaruh variabel modal manusia,
fertilitas total, selain pangsa sektor minyak dan gas dalam PDRB untuk mengukur
ketersediaan sumber daya alam terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuannya
adalah bahwa investasi untuk pendidikan dan kesehatan memang dibutuhkan untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan daerah .
Sedangkan Wibisono (2001) memasukkan variabel-variabel educational attaintment (diukur dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan), angka harapan hidup (life expectancy), tingkat fertilitas (fertility rate), tingkat kematian bayi (infant mortality rate), laju inflasi dan juga variabel dummy daerah juga terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dari estimasi-estimasi yang dilakukan, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian bayi. Sedangkan tingkat fertilitas dan laju inflasi memberikan efek negatif terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan .
Berdasarkan data Indonesia Human Development Report 2002, tahun 2002 di Indonesia terdapat 341 daerah tingkat II, Aloysius Gunadi Brata (2004), dikatakan bahwa terdapat two-way relationship antara kinerja ekonomi daerah dengan pembangunan manusia .
Ketiga studi di atas juga mengkonfirmasi bahwa technical progress dalam bentuk modal manusia (human capital) mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi dan berarti juga berguna untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan antardaerah.
Dengan melihat teori dan kajian empirik diatas menunjukkan bahwa bagi pemerintah pusat, ketidakmerataan antarregion dan ketidakmerataan intraregion bukan merupakan trade off yang saling meniadakan. Karena kedua ketidakmerataan regional tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan karena terdapat keterkaitan antar kedua permasalahan tersebut.
Sedangkan Wibisono (2001) memasukkan variabel-variabel educational attaintment (diukur dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan), angka harapan hidup (life expectancy), tingkat fertilitas (fertility rate), tingkat kematian bayi (infant mortality rate), laju inflasi dan juga variabel dummy daerah juga terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dari estimasi-estimasi yang dilakukan, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian bayi. Sedangkan tingkat fertilitas dan laju inflasi memberikan efek negatif terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan .
Berdasarkan data Indonesia Human Development Report 2002, tahun 2002 di Indonesia terdapat 341 daerah tingkat II, Aloysius Gunadi Brata (2004), dikatakan bahwa terdapat two-way relationship antara kinerja ekonomi daerah dengan pembangunan manusia .
Ketiga studi di atas juga mengkonfirmasi bahwa technical progress dalam bentuk modal manusia (human capital) mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi dan berarti juga berguna untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan antardaerah.
Dengan melihat teori dan kajian empirik diatas menunjukkan bahwa bagi pemerintah pusat, ketidakmerataan antarregion dan ketidakmerataan intraregion bukan merupakan trade off yang saling meniadakan. Karena kedua ketidakmerataan regional tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan karena terdapat keterkaitan antar kedua permasalahan tersebut.
v Faktor-faktor penyebab ketimpangan
Ada 2 faktor penyebab ketimpangan pembangunan, faktor
pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment)
diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi
pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (growth).
Sebagian ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat
alamiah (natural) atau bahkan ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat structural.
Ketidaksetaraan itu berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam
pembangunan menjadi tidak seimbang.
Ditumpukkannya strategi pembangunan pada aspek
petumbuhan, bukanlah tidak beralasan. Secara akademik, baru pertumbuhanlah yang
telah memiliki teori-teori yang mantap dalam konsep pertumbuhan ekonomi. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan kalau rancangan pebangunan lebih menyandarkan
rencana pembangunannya pada aspek pertumbuhan.
v Pembangunan Indonesia bagian Timur
Pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami
pasang surut terutama saat Indonesia dilanda krisis ekonomi. Pembangunan
infrastruktur mengalami hambatan pembiayaan karena sampai sejauh ini, titik
berat pembangunan masih difokuskan pada investasi sektor-sektor yang dapat
menghasilkan perputaran uang (cash money) yang tinggi dengan argumentasi bahwa
hal itu diperlukan guna memulihkan perekonomian nasional.
Sedangkan pembangunan infrastruktur lebih difokuskan
pada usaha perbaikan dan pemeliharaan saja. Dengan demikian dewasa ini, pembangunan
infrastruktur kawasan timur Indonesia belum menjadi focus utama pembangunan.
Pada saat ini sudah hampir menjadi kesimpulan umum
bahwa infrastruktur adalah fundamental perekonomian Indonesia. Bahwa daerah
atau kawasan Indonesia Timur merupakan wilayah strategis guna membangkitkan
potensi nasional. Oleh karena itu hari ini adalah saat yang tepat guna
meletakkan kemauan bersama menyusun konsep pembangunan infrstruktur kawasan
Timur Indonesia yang bersumber pada kesadaran penguasaan teknologi dan keunggulan
sumberdaya daerah.
Pemetaan kebutuhan infrastruktur lima tahun ke depan
berdasarkan jenis inftrastruktur seperti; jalan, listrik, gas, air bersih,
pelabuhan, telekomunikasi, moda transportasi, dan lain-lain serta berdasarkan
tipologi kewilayahan.
Perumusan pembiayaan infrastruktur dan sumber
pembiayaannya. Pengkajian
kerangka regulasi yang ada dan merekomendasikan penyempurnaan kerangka tersebut
guna mendukung prioritas pembangunan dan pembiayaan infrastruktur
Penyusunan strategi pembangunan dan pembiayaan
infrastruktur ini diharapkan dapat menghasilkan peta pembangunan infrastruktur
yang jelas di masa yang akan datang sehingga pemerintah mempunyai dokumen yang
lengkap terhadap pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu, ruang lingkup dari penyusunan
strategi ini mencakup seluruh aspek potensi ekonomi wilayah Indonesia Timur
sebagai rumusan strategis pembangunan infrastruktur nasional, baik berdasarkan
subsektor jenis infrastruktur dan maupun tipologi kewilayahan dengan basis
pendekatan potensi.
Penyusunan strategi pembangunan dan pembiayaan
infrastruktur kawasan timur Indonesia diharapkan dapat menghasilkan Master Plan
di bidang infrastruktur yang akan mendukung skenario pembangunan era baru
ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Master Plan ini diharapkan dapat
memuat berbagai data dan informasi mengenai pembangunan dan pembiayaan
infrastruktur berdasarkan skala prioritas pembangunan dan regulasi yang
mendukung arah pembangunannya.
Cerminan pembangunan infrastruktur nasional adalah
pembangunan infrastruktur di tiap wilayah atau propinsi di Indonesia.
Perkembangan pembangunan infrastruktur di masing-masing pulau di Indonesia
memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Dominasi pembangunan infrastruktur
sangat ditentukan oleh kondisi geograsfis dan demografis dari suatu wilayah.
Dominasi infrastruktur ini dapat mencerminkan pula
tingkat aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Perkembangan pembangunan
infrastruktur untuk masing-masing pulau yang ada di Indonesia. Hal ini pula
yang menjadi hambatan pembangunan infrastrukrur Kawasan Timur Indonesia.
Pada hal sejatinya jika Indonesia ingin percepatan
mencapai kemajuan maka pendekatan potensi atau potential approach yaitu potensi
yang mendorong tumbuhnya komoditas unggulan, hendaknya menjadi komintmen kuat
terhadap pembangunan infrstruktur kawasan timur Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah Kalimantan
Selatan sebagaimana daerah Kalimantan umumnya yang merupakan salah satu pulau
terbesar yang ada di wilayah negara kita. Tingkat kepadatan pendudukanya
relative rendah sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pendekatan
demographic dalam perencanaan pembangunan infrastukturnya.
Dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini hanya
sebesar 6% dari total penduduk Indonesia, maka akan berdampak pada aktivitas
ekonomi yang ada di wilayah ini. Kondisi semacam ini merupakan kondisi tipikal
wilayah Indonesia Timur. Karenanya diperlukan langkah potential approach atau
pendekatan potensial untuk pembangunan infrastrukturnya
Komoditas yang menjadi unggulan untuk wilayah ini
adalah sektor pertambangan dan galian, sub sector perkebunan dan subsektor
kehutanan. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan besar bagi pendapatan
nasional.
Dengan demikian terdapat pandangan berbeda mengenai
pola perencanaan bahwa berdasarkan jumlah penduduk atau pendekatan demografik,
aktivitas ekonomi unggulan yang tidak memerlukan banyak infrastruktur, maka
akibatnya adalah persentase pembangunan infrastruktur di pulau ini lebih rendah
dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dilihat dari infrastruktur transportasi, pelabuhan
laut lebih mendominasi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini sangat wajar
dengan kondisi geografis dari Kalimantan yang lebih banyak rawa dibandingkan
dengan daratannya yang memungkinkan sektor pelabuhan laut dan lalulitas
angkutan sungai, danau, dan penyeberangan lebih berkembang dibandingkan dengan
transportasi darat.
Pembangunan jalan di pulau ini masih relative rendah
bila dibandingkan dengan luas wilayah pulau ini. Hal ini sangat signifikan
sekali dengan jumlah kendaraan yang berada di wilayah ini hanya sebesar 5,8%
dari jumlah kendaraan yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan
rendahnya tingkat mobilitas dan tingginya biaya transportasi sehingga wilayah
ini kehilangan daya saingnya dalam menarik investasi.
Pandangan keliru juga terdapat pada subsektor
pertanian tanaman pangan dan pengairan. Dapat kita temukan fakta bahwa irigasi
tidak menjadi salah satu fokus pembangunan infrastruktur karena wilayah ini
bukan sebagai lumbung padi tetapi lebih cenderung pada komoditas kehutanan dan
perkebunan.
Pada pada sisi lain kitapun memehami betul bahwa
kondisi wilayah ini sangat dimungkinkan membangun jaringan irigasi guna
menjadikan Kalimantan sebagai lumbung padi. Kita dapat belajar dan
membandingkan kondisi wilayah ini dengan kondisi Vietnam yang petaninya lebih
unggul dari petani kita bahkan tanpa proteksionisme perdagangan.
Saat ini akses masyarakat Kalimantan terhadap air
bersih, hanya sebesar 44% yang dapat menikmati air bersih sedangkan sisanya
belum mendapatkan akses terhadap air bersih.
Ini merupakan salah satu permasalahan yang harus
menjadi perhatian, karena bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan berdampak
pada tingkat kesehatan dari masyarakat di Kalimantan. Bagaimana kita bisa
mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing secara global
bila tingkat hiegenitas masih rendah. Oleh karena itu akses terhadap air bersih
perlu langkah prioritas pembangunan infrastrukturnya.
Demikian pula dengan subsektor telematika dan
ketenagalistrikan perlu berpacu dengan irama pertumbuhan yang berkembang dengan
pesat. Hal ini sejalan dinamika dan aktivitas dari masyarakat di pulau
Kalimantan.
Pembukan lahan menjadi lahan pertanian yang notabene
terjadi perubahan fungsi seringkali memicu kotroversi yang kontraproduktif,
hendaknya dipelajari kembali dengan seksasama agar tidak terdapat resistensi
pembangunan hanya sekadar penolakan emosional, namun sebaliknya kehilangan
informasi berharga tentang potensi ekonomi yang mempunyai keunggulan tertentu.
Akhirnya kita juga mengapeal akan pentingnya kesadaran
tentang pembangunan infrastruktur berkaitan dengan upaya strategis percepatan
pertumbuhan ekonomi, hendaknya secara nyata mengurangi hambatan birokratis di
semua lini baik pada tingkat pemerintah pusat maupun pada tingkat pemerintah
daerah dan pemerintah kabupaten.
v Teori dan Analisis Pembangunan
Ekonomi Daerah
Perbedaan
karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga
membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya
perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona
Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah
dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang
dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah
zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai
dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk
setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari
Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona
pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat
diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona
Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1.
Membangun setiap wilayah sesuai
potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2.
Menciptakan proses pembangunan
ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3.
Memberikan peluang pengembangan
wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini
sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli
ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan
ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan
Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini
terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan
ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah
Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita
mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan
tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan
laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik
walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin
(leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula
perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan
industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan
tersebut”.
Model
pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang
mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini
mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan
(leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor
lainnya.
Terdapat
pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa
produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun
perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995)
adalah :
“Suatu
kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat
pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan
bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Referensi :
0 comments:
Posting Komentar