Pembangunan
Ekonomi Daerah
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi sejak Pelita I
hingga krisis tahun 1997 memang memberi hasil-hasil positif bagi perekonomian
Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya. Jika
dilihat dari sisi kualitasnya ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde
Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar baik dalam bentuk
ketimpangan dalam distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan maupun
kesenjangan ekonomi/ pendapatan antardaerah/ provinsi.
Ada sejumlaha indikator yang dapat
digunakan untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi
antarprovisi, diantaranya adalah
- Produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi atau distribusi provinsi dalam pembentukan PDB nasional,
- PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata perkapita,
- Indeks pembangunan manusia (IPM),
- Konstribusi sektoralterhadap pembentukan PDRB,
- Tingkat kemiskinan.
Menurut Barzelay dalam Kusaini
(2006:62) Pemberian Otonomi daerah melalui Desentralisasi fiskal dam kewenangan
daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka
pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama
sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :
- 1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
- 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
- 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
DISTRIBUSI PDB NASIONAL MENURUT
PROVINSI
Distribusi PDB nasional menurut
wilayah atau provinsi merupakan indikator utama di antara indikator-indikator
lain yang umum di gunakan untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil
pembangunan ekonomi di suatu negara.
PDRB yang relatif sama antarprovinsi
memberi suatu indikasi bahwa distribusi PDB nasional relatif merata
antarprovinsi yang berarti semakin besar perbedaan dalam pangsa PDB nasional
antarprovinsi semakin besar ketimpangan dalam pembangunan ekonomi
antarprovinsi.
Salah satu fakta yang memprihatikan
adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas),
kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di Aceh, Riau, dan
Kalimatan Timur lebih kecil lagi.
PDRB RATA-RATA PER KAPITA DAN TREN
PERTUMBUHANNYA
Tujuan utama dari pembangunan
ekonomi adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ini umum diukur dengan
pendapatan rata-rata per kapita maka distribusi PDB nasional menurut provinsi
menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan dalam
pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB
rata-rata perkapita.
Untuk menganalisis keberadaaan dan
peran dari out layers dalam bentuk pola ketimpangan regional, dilakukan
dua langkah pemisahan data. Sepeti yang dijelaskan di Tadjoeddin dkk.
(2001) sebagai berikut:
“ Pertama, nilai
minyak dan gas bumi yang dikeluarkan dari PDRB semua kabupaten /kota dan output
pertambangan dikeluarkan dari PDRB kabupaten Fakfak . setelah itu angka PDRB
per kapita menurut kabupaten/kota tersebut diurutkan dari yang terkecil sampai
yang terbesar. Ternyata 13 kabupaten/kota teratas yang memiliki nilai PDRB per
kapita yang sangat tinggi. Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki
kekhususan dalam hal karakteristik ekonominya yang bisa digolongkan menjadi
daerah kantong industri, perdangan, dan jasa. Oleh karenanya, pada langkah kedua
ke 13 kabupaten/kota tersebut di keluarkan dari analisis.”
Indeks Theil dan Indeks L dihitung
sebagai berikut:
|
Dimana:
Yij = total pendapatan di
provinsi i, grup j
Y
= total pendapatan nasional (ΣΣ Yij
)
á¿©ij = rata-rata
pendapatan per kapita di provinsi i, grup j
á¿©
= rata-rata pendapatan nasional per
kapita
Nij = penduduk di
provinsi i, grup j
N
= total penduduk Indonesia (ΣΣ Nij)
Tujuan analisis kovergensi sepuluh
tahun tersebut adalah untuk melihat besarnya pengaruh dari gejolak-gejolak
khususnya dari sumber eksternal yang terjadi selama 1971-1980 dan 1981-1990
terhadap proses konvergensi dalam masing-masing dekade yang bersangkutan.
Hasil analisisnya menunjukan bahwa hanya antara 1971 hingga 1980 koefisien
tingkat awal PDRB per kapita bernilai negatif dan secara statistiksignifikan
sedangkan koefisien selama dekade 80-an tidak signifikan yang berarti hanya
konvergensi.
Tujuan analisis konvergensi lima
tahun adalah untuk memahami stabilitas konvergensi dalam periode lima tahun
yang mana pertumbuhan PDRB per kapita antarprovinsi memperlihatka kecenderungan
yang kuat untuk konvergen dan dalam periode liam tahun yang mana perbedaan PDRB
per kapita antarprovinsi cenderung membesar. Hasil analisisnya menunjukan bahwa
hanya dalam periode 1985-1990 tidak terjadi konvergensi karena koefisien
tingkat awal PDB per kapita (dalam log) bernilai positif yang mengidentifisikan
bahwa telah terjadi divergensi walaupun korelasinya secara statistik tidak
signifikan.
KONSUMSI RUMAH TANGGA PER KAPITA
ANTARPROVINSI
Pengeluaran konsumsi C rumah tangga
(RT) per kapita per provinsi merupakan salah satu indikator alternatif yang
dapat di jadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan
penduduk antarprovinsi. Hipotesisnya semakin tinggi pendapatan per kapita di
suatu daerah semakin tinggi pengeluaran C per kapita di daerah tersebut. Tentu
dengan dua asumsi: sifat menabung (S) dari masyarakat tidak berubah (rasio S
terhadap PDRB tetap tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam pengeluaran C RT
juga konstan.
Yang di maksud dengan pola C adalah
alokasi prosentase pengeluaran untuk mengetahui C makanan vis-ά-vis nonmakanan.
Bila alokasi prosentasenya semakin mengecil menandakan kesejahteraan penduduk
semakin membaik dan bila membesar berarti tingkat kesejahteraannya menurun.
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
Indeks pembanguana manusia (IPM)
atau di kenal dengan sebutan human development index (HDI) adalah
indikator yang digunakan untuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan
dengan kualitas dari hasil pembangunan ekonomi yakni derajat perkembangan
manusia. IMP adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator
yaitu:
- Kesehatan
- Pendidikan yang dicapai
- Standar kehidupan
Faktor-faktor lain seperti
ketersediaan kesempatan kerja yang pada gilirannya ditentukan oleh
- pertumbuhan ekonomi,
- infrastruktur dan
- kebijakan pemerintah.
Tadjoeddein dkk. (2001) berargumen bahwa ” rendahnya
ketimpanganregional dalam hal kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari
kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah ……. yang dijalankan pemerintah
Orde Baru terutama melalui instrumen fiskal ……. seperti transfer dari pusat
transfer antardaerah dan kebijakan lain terutama melalui berbagai skema
inpres.”
TINGKAT KEMISKINAN
Pulau Jawa memang merupakan pusat
kemiskinan yang ada di Indonesia dan hal ini erat kaitannya dengan angka
kepadatan penduduk yang memang di pulau Jawa paling tinggi di bandingkan dengan
provinsi-provinsi lain yang ada di tanah air.
Semakin tinggi jumlah penduduk per
km2atau per hektar semakin sempit ladang untuk bertani atau lokasi
untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil
kesempatan kerja dan sumber pendapatan yang berarti juga semakin besar
prosentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
KONSTRIBUSI SEKTORAL TERHADAP PDRB
Sektor-sektor ekonomi dapat di
kelompokan ke dalam tiga kategori yakni primer, sekunder, dan tersier. Yang
termasu kedalam sektor-sektor:
a)
Primer
Adalah pertambangan (termasuk
penggalian) dan pertanian.
b)
Sekunder
Adalah industri manufaktur, listrik,
gas, dan air bersih serta bangunan
c)
Tersier
Merupakan sektor-sektor diluar
sektor primer dan sekunder.
Diukur dengan nilai tambah
sektor-sektor sekunder adalah sektor-sektor dengan nilai tambah terbesar
khususnya karena konstribusi dari industri manufaktur sedangkan terendah adalah
sektor-sektor primer.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN
Faktor-faktor utama penyebab
terjadinya ketimpangan ekonomi antarprovinsi di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1.
Kosentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Ekonomi dari daerah dengan
kosentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi cendderung tumbuh pesat. Sedangkan
daerah dengan tingkat kosentrasi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai
tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Ada dua masalah utama dalam
pembanguan ekonomi nasional pertama, semua kegiatan ekonomi hanya terpusatkan
di daerah tertentu saja kedua, yang dimaksud dengan efek menetes ke bawah
tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat.
Faktor-faktor yang menyebabkan
sebagian besar dari kegiatan industri di Indonesia tidak di luar Jawa karena
keterbatasan-keterbatasan di kawasan tersebut seperti:
a.
Pasar lokal kecil
b.
Infrastruktur terbatas
c.
Kurangnya SDM yang terampil
d.
2.
Alokasi Investasi
Dapat dikatakan bahwa kurangnya I di
suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per
kapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi
yang produktif seperti industri manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa atau
lebih lambatnya perkembangan I di luar Jawa khususnya IKT di sebabkan oleh
banyak faktor diantaranya yang penting adalah :
a.
Kebijakan dan Birokarsi yang selama ini terpusat
b.
Kosentrasi penduduk di Jawa
c.
Keterbatsan infrastruktur serta SDM di wilayah luar pulau Jawa.
3.
Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antardaerah
Pada saat ekonomi di suatu provinsi
mengalami masa kedewassan yakni pada saat kapsitas produksinya mencapai titik
maksimum, penambahan ekstra faktor produksi tidak akan lagi menghasilkan
peningkatan produktivitas dari ekstra faktor tersebut (constant retrun to
scale). Bahkan, penambahan yang terus menerus pada akhirnya akan membuat proses
produksinya mengalami penurunan produktivitas (decreasing return to scale)
atau laju pertumbuhan semakin kecil.
4.
Perbedaan Antar SDA
Dalam arti SDA harus dilihat hanya
sebagai modal awal untuk pembanguan yang selanjutnya harus di kembangkan terus.
Semakin pentingnya pengusaan T dan peningkatan SDM maka ketersediaan kedua
faktor ini akan menjadi lebih penting dari pada ketersediaan SDA.
5.
Perbedaan Kondisi Geografis Antarwilayah
Ketimpangan ekonomi regional di
Indonesia juga disebakan oleh perbedaan kondisi antarprovinsi. Terutama dalam
hal :
– jumlah dan pertumbuhan penduduk,
– tingkat kepadatan penduduk,
– pendidikan,
– kesehatan,
– disiplin masyarakat, dan
– etos (semangat) kerja.
6.
Kurang Lancarnya Perdagangan Antarprovinsi
Ketidaklancaran disebabkan oleh
keterbatasan transportasi dan komunikasi yang saling menguntungkan.
TEORI DAN MODEL ANALISIS PEMBANGUNAN
EKONOMI DAERAH
1)
Teori Pembanguan Ekonomi Daerah
a.
Teori Basis Ekonomi
Menyatakan bahwa faktor penetu utama
pertumbuhan bahan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan
permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
b.
Teori Lokasi
Digunakan untuk penentuan atau
mengembangkan kawasan industri di suatu daerah. Inti pemikiran ini didasarkan
pada sifat yang rasional pengusaha/perusahaan yang cenderung mencari keuntungan
setinggi mungkin dengan biaya serendah mugkin.
c.
Teori Daya Tarik Industri
Faktor-faktor daya tarik menurut Kotler
dkk. (1997) antara lain:
- NT tinggi per pekerja (produktivitas)
- Industri-industri kaitan
- Daya saing dimasa depan
- Spesialisasi industri
- Potensi X
- Prospek bagi permintaan domestik
Faktor-faktor penyumbang pada tarik
menurut Kotler dkk. (1997) antara lain:
- Faktor-faktor pasar
- Faktor-faktor persaingan
- Faktor-faktor keuangan dan ekonomi
- Faktor-faktor T
Tabel
1.1
Penilaian
Kemampuan Industri Suatu Daerah
Produksi untuk pasar domestik dan ekspor
|
Investasi ke dalam
|
Investasi ke luar negeri
|
Impor ( tidak ada produksi lokal )
|
kuat
Daya Saing Dalam Faktor
daerah
Lemah
Kuat
Lemah
Daya Saing Perusahaan Daerah
2)
Model Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
a. Analisis SS
Pendekatan analisis ini dapat
dianalisis kinerja perkonomian suatu daerah dengan membandingkannya dengan
daerah yang lebih besar ( nasional ).
b. Location Quotients (LQ)
LQ adalah suatu teknik yang di
gunakan untuk memperluas metode analisis SS yaitu untuk mengukur kosentrasi
dari suatu kegiatan ekonomi atau sektor di suatu daerah dengan cara
membandingkan perannanya dalam perekonomian daerah tersebut dengan peranan
kegiatan ekonomi/sektor yang sama pada tingkat nasional.
Rumus menghitung LQ sebagai berikut:
LQ = vi
/ vt
Vi / Vt
c. Angka Pengganda Pendapatan
Umum digunakan untuk mengukur
potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan ekonomi yang baru
atau peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut:
K
= _____1________
1-
(MPC1-PSY )
d. Analisis Input-Output (I-O)
Merupakan salah satu metode analisis
yang sering di guanakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat
keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami komplektisitas perekonomian daerah
tersebut serta kondisi yang di perlukan untuk mempertahankan keseimbangan
antara AD dengan AS.
e. Model Pertumbuhan Harrod-Domar
Inti dari model pertumbuhan ini
adalah suatu relasi jangka pendek antara peningkatan I dengan pertumbuhan
ekonomi.
Sumber :
- Tambunan, Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
- http://anaarisanti.blogspot.com/2010/06/pembangunan-ekonomi-daerah.html
- https://nissakfh.wordpress.com/2011/04/07/pembangunan-ekonomi-daerah-23210895/
0 comments:
Posting Komentar